www.radarharian.id – Film animasi berjudul “Merah Putih: One for All” menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Saat dijadwalkan tayang pada 14 Agustus 2025, antusiasme yang diharapkan berbalik jadi kritikan tajam di media sosial.
Kritik ini terfokus pada berbagai aspek film, mulai dari visual yang dianggap kurang memadai hingga alur cerita yang tidak menarik perhatian. Warganet tak segan mengekspresikan harapan mereka yang tinggi terhadap kualitas film lokal.
Film ini menjadi sorotan bukan hanya dari penonton, tetapi juga dari para profesional di industri perfilman. Berbagai komentar berkembang di media sosial, mencerminkan kekhawatiran banyak pihak terhadap masa depan film animasi Indonesia.
Kritik Terhadap Kualitas Visual dan Detail Produksi Film
Kualitas visual “Merah Putih: One for All” dilihat tidak memenuhi ekspektasi, yang semakin diperparah oleh perbandingan dengan film animasi lainnya. Banyak penonton yang menganggap bahwa animasi yang dihadirkan tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikucurkan.
Sejak trailer dirilis, publik mulai membahas detail karakter dan latar belakang yang dianggap kurang memadai. Kritikan ini berpusat pada standar tinggi yang sudah ditetapkan oleh film-film animasi sebelumnya yang sukses di pasaran.
Hal ini tak ayal membuat penonton skeptis akan potensi film ini untuk bersaing di pasar. Dengan banyaknya karya berkualitas yang sudah ada, harapan akan visual yang memukau menjadi kian mendesak.
Biaya Produksi yang Kontroversial dan Pembandingnya dengan Animator Terkenal
Biaya produksi yang mencapai sekitar Rp6,7 miliar menjadi sorotan karena tidak sebanding dengan hasil yang ditunjukkan di trailer. Public bertanya-tanya apakah anggaran ini benar-benar tercermin pada kualitas akhir dari film.
Pembandingan dengan film animasi lain, seperti “Jumbo,” yang mampu menarik perhatian jutaan penonton juga menambah dampak dari kritik ini. Produksi “Merah Putih: One for All” dianggap oleh banyak orang tidak layak disebut sebagai film layar lebar.
Berbagai media pun mengangkat isu ini, menempatkannya dalam konteks yang lebih luas mengenai kualitas animasi Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang investasi dalam industri kreatif lokal.
Kritikan dari Sutradara Terkenal dan Komisi DPR RI
Kritik datang tidak hanya dari kalangan penonton, tetapi juga dari para pelaku industri. Sutradara terkenal Hanung Bramantyo menyampaikan keraguan tentang posisi film ini di bioskop, mengingat banyak film lain yang lebih layak untuk tayang.
Komisi X DPR RI juga turut memberikan kritik terhadap film ini, dengan menyoroti masalah kualitas visual dan ketepatan waktu tayang. Anggota DPR menunjukkan kepedulian lebih jauh terhadap perkembangan perfilman animasi di Indonesia.
Perdebatan ini semakin membesar seiring dengan munculnya isu transparansi dalam proses produksi, di mana publik menginginkan penjelasan lebih lanjut. Pertanyaan seputar keputusan yang diambil oleh pihak studio pun muncul sebagai bagian dari kritik ini.
Proses Produksi yang Dipertanyakan dan Tanda Tanya dari Publik
Adanya indikasi bahwa film ini diproduksi dalam waktu yang terlalu singkat memunculkan kegalauan di kalangan penonton. Banyak yang mencemaskan bahwa terburu-buru dalam proses pembuatan akhirnya berdampak pada hasil akhir yang kualitasnya tidak memadai.
Keberadaan studio Perfiki Kreasindo, yang bertanggung jawab atas produksi film ini, menjadi bahan pembicaraan. Publik meragukan profesionalisme studio, ditambah dengan ketiadaan kejelasan mengenai pengalaman mereka di industri animasi.
Di sisi lain, produser eksekutif film ini membantah anggapan tersebut dan menjelaskan bahwa proyek ini telah dimulai jauh sebelumnya. Penjelasan ini tidak serta merta menghilangkan skeptisisme publik, yang masih merasa perlu adanya transparansi lebih lanjut.